BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pajak secara bebas dapat dikatakan sebagai suatu
kewajiban warga negara berupa pengabdian serta peran aktif warga negara dan
anggota masyarakat untuk membiayai berbagai keperluan negara dalam Pembangunan
Nasional, tanpa adanya imbalan secara langsung yang pelaksanaannya diatur dalam
Undang-Undang Perpajakan untuk tujuan kesejahteraan bangsa dan negara. Dengan semakin berkembangnya kondisi usaha dan bisnis baik ditingkat
nasional maupun internasional, maka penghasilan yang diterima wajib pajak badan
dalam negeri juga meningkat. Badan atau perusahaan merupakan subjek pajak
dalam negeri dimana wajib pajak badan ini merupakan penyumbang bagi
penerimaan negara dari sektor pajak yaitu pajak penghasilan badan.
Dalam hal menjalankan usaha, suatu badan atau
perusahaan harus membuat pembukuan untuk menunjang kegiatan usahanya. Sama
halnya dalam perpajakan, pembukuan juga wajib dibuat oleh wajib pajak yang
berbentuk badan untuk mempermudah menghitung pajaknya. Dalam makalah ini akan dibahas
mengenai wajib pajak badan, kewajiban dan hak wajib pajak badan dalam
perpajakan dan cara penghitungan pajak dari wajib pajak badan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Badan
Menurut UU No.28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan, pasal 1 angka 3, Badan adalah sekumpulan orang dan atau
modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak
melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer,
perseroan lainnya, BUMN atau BUMD dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma,
kongsi koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi
massa, organisasi sosial poltik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk
badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
B. Wajib Pajak Badan
Wajib Pajak Badan adalah Badan seperti yang dimaksud
pada UU KUP, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang
mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan atau memiliki kewajiban subjektif dan kewajiban
objektif serta telah mendaftarkan diri untuk memproleh Nomor Pokok Wajib Pajak
(NPWP).
C. Pajak Penghasilan Badan
Pada pasal 1 UU Pajak Penghasillan, Pajak Penghasilan adalah Pajak yang
dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau
diperolehnya dalam tahun pajak.
Pajak Penghasilan Badan (PPh Badan) adalah pajak yang dikenakan atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh Badan seperti yang dimaksud dalam
UU KUP.
Adapun subjek dari PPh Badan yaitu :
1. Wajib Pajak Badan dalam negeri, yaitu badan yang didirikan atau bertempat
kedudukan di Indonesia.
2. Wajib Pajak Badan luar negeri, yaitu badan yang tidak didirikan atau tidak
bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
melalui BUT di Indonesia, dan atau badan yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima penghasilan dari Indonesia tidak
dari menjalankan usaha melalui BUT di Indonesia.
Yang menjadi objek pajak PPh Badan
adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau
diperoleh wajib pajak badan baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar
Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib
pajak badan yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.
D. Kewajiban Wajib Pajak
Badan dalam Perpajakan
Berikut kewajiban dari Wajib Pajak Badan :
1. Kewajiban mendaftarkan diri
Dalam hal ini mendaftarkan diri untuk memiliki NPWP
(Nomor Pokok Wajib Pajak) dan apabila wajib pajak badan melakukan kegiatan
penyerahan barang kena pajak dan atau jasa kena pajak atau ekspor barang kena
pajak yang terutang PPN berdasarkan UU PPN 1984, maka wajib pajak badan
tersebut memiliki kewajiban untuk dikukuhkan menjadi pengusaha kena pajak
(PKP). Untuk wajib pajak badan atau pengusaha kecil yaitu selama satu tahun
buku melakukan penyerahan BKP dan atau JKP dengan jumlah peredaran bruto tidak
lebih dari Rp600.000.000,- (enam ratus juta rupiah) maka tidak diwajibkan untuk
dikukuhkan sebagai PKP, kecuali pengusaha kecil tersebut memilih untuk
dikukuhkan sebagai PKP. Jadi, apabila peredaran brutonya lebih dari 600 juta
maka wajib mengukuhkan diri menjadi PKP.
Pada pasal 2 ayat (4) UU KUP, “Dirjen Pajak
menerbitkan NPWP dan/atau mengukuhkan PKP secara jabatan apabila WP atau PKP
tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau
ayat (2).
2. Kewajiban untuk menyelenggarakan pembukuan.
Sebagaimana terdapat pada pasal 28 ayat (1) UU KUP,
yaitu WP orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan
WP badan di Indonesia, wajib menyelenggarakan pembukuan.
Pembukuan :
Menurut UU No.28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan,Pembukuan adalah proses pencatatan yang dilakukan secara
teratur untuk mendapatkan data & informasi keuangan yang meliputi keadaan
harta, kewajiban atau utang, modal, penghasilan dan biaya serta jumlah harga
perolehan dan penyerahan barang atau jasa yang terutang maupun yang tidak
terutang PPN, yang dikenakan PPN dengan tarif 0% (nol persen) dan yang
dikenakan PPnBM, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca
dan penghitungan rugi/laba pada saat tahun pajak berakhir.
Ketentuan mengenai Pembukuan :
Pembukuan tersebut harus diselenggarakan dengan:
a. memperhatikan iktikad baik dan mencerminkan keadaan
atau kegiatan usaha yang sebenarnya,
b. harus diselenggarakan di Indonesia, dengan menggunakan huruf latin, angka Arab, satuan mata uang rupiah, dan disusun
dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menkeu,
c. diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan
stelsel akrual dan stelsel kas,
d. perubahan terhadap metode pembukuan dan/atau tahun buku
harus mendapat persetujuan dari Dirjen Pajak.
Prinsip Taat Asas :
Prinsip taat asas adalah prinsip yang sama digunakan
dalam metode pembukuan dengan tahun-tahun sebelumnya untuk mencegah
penggeseran laba atau rugi. Misalnya dalam penerapan : Stelsel
pengakuan penghasilan; Tahun buku; Metode penilaian persediaan;
Metode penyusutan dan amortisasi.
|
3. Kewajiban melakukan pemotongan dan pemungutan, diantaranya yaitu:
a. Kewajiban pajak sendiri (seperti PPh Pasal 25/29);
b. Kewajiban memotong atau memungut (pot/put) pajak atas
penghasilan orang lain (misalnya: PPh Pasal 21/26, PPh Pasal 22, PPh Pasal
23/26, dan PPh Final); dan
c. Kewajiban memungut PPN dan atau PPn BM (jika ada) yang khusus berlaku bagi
Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Jenis-jenis pajak yang menjadi kewajiban Wajib Pajak
Badan secara umum bisa diuraikan sebagai berikut:
a. PPh Pasal 21/Pasal 26
Yaitu PPh yang wajib dipotong atas penghasilan
sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang diterima atau diperoleh
orang pribadi, sesuai dengan ketentuan Pasal 21 UU PPh.
Wajib Pajak Badan wajib melakukan pemotongan PPh Pasal
21 atas penghasilan para karyawan yang bekerja di perusahaan tersebut maupun
penghasilan orang pribadi lainnya, seperti tenaga ahli, yang dibayar atau
terutang oleh perusahaan. Dalam hal terdapat pembayaran penghasilan, yang
termasuk objek PPh Pasal 21, kepada orang pribadi yang berstatus WP luar
negeri, PPh yang dipotong mengacu pada ketentuan Pasal 26 UU PPh atau
berdasarkan tax treaty.
Kewajiban PPh Pasal 21/Pasal 26 yang harus
dilaksanakan, meliputi:
SPT Masa PPh Pasal 21/26 pada setiap Masa Pajak
Merupakan pelaporan atas PPh Pasal 21 yang telah
dihitung dan disetor oleh Wajib Pajak Badan, yang terutang pada setiap masa
pajak. PPh Pasal 26 yang terutang atas pembayaran kepada orang pribadi yang
berstatus Wajib Pajak Luar Negeri juga wajib dilaporkan pada SPT Masa PPh Pasal
21. Pada dasarnya, PPh Pasal 21 yang dilaporkan dalam SPT Masa merupakan
angsuran atau pajak dibayar di muka untuk PPh Pasal 21 yang terutang pada akhir
tahun pajak yang bersangkutan.
SPT Masa PPh Pasal 21 pada Akhir Tahun Pajak
Merupakan pelaporan atas PPh Pasal 21 yang telah
dihitung dan dilunasi pada suatu tahun pajak, termasuk PPh Pasal 26 yang
terutang atas penghasilan orang pribadi berstatus WP luar negeri. SPT Masa PPh
Pasal 21 untuk Akhir Tahun Pajak sebenarnya merupakan penghitungan ulang atas
PPh Pasal 21 yang telah dilaporkan dalam SPT Masa PPh Pasal 21 untuk Masa
Pajak Januari sampai dengan Desember. Bisa jadi, pada SPT Masa PPh Pasal 21
pada akhir tahun nantinya timbul kurang bayar, atau lebih bayar, atau mungkin
juga nihil (PPh Pasal 21 yang sudah disetor sama dengan PPh Pasal 21 yang
terutang).
b. PPh Pasal 23
Yaitu PPh yang dipotong atas penghasilan berupa
dividen, royalty, bunga, hadiah dan penghargaan selain yang telah dikenakan PPh
Pasal 21, sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, serta
imbalan jasa sehubungan dengan jasa-jasa seperti jasa teknik, jasa manajeman,
jasa konsultan, dan jasa lain, yang ditetapkan dalam ketentuan Pasal 23 UU PPh.
c. PPh Pasal 26
Yaitu PPh yang dipotong atas penghasilan berupa
dividen; bunga; royalti; sewa dan imbalan lain sehubungan dengan penggunaan
harta; imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan dan kegiatan, hadiah dan
penghargaan; serta pensiun dan pembayaran berkala lainnya yang
diterima/diperoleh WP luar negeri. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 26 UU PPh.
Penghitungan dan penyetoran PPh Pasal 26 sebaiknya
tetap dilakukan secara tersendiri, meskipun untuk pelaporannya digabungkan
dengan PPh Pasal 21 atau PPh Pasal 23, tergantung pada jenis objek pajaknya
serta penerima penghasilannya;
1) Jika objek pajaknya cenderung sama dengan PPh Pasal 21 dan penerima
penghasilannya adalah orang pribadi berstatus WP luar negeri, maka pelaporannya
melalui SPT Masa PPh Pasal 21 dan atau Pasal 26;
2) Jika penerima penghasilannya berbentuk badan dan berstatus WP luar
negeri, pelaporannya melalui SPT Masa PPh Pasal 23 dan atau Pasal 26.
d. PPh Final
Yaitu PPh yang dipotong atas jenis penghasilan
tertentu atau jenis usaha tertentu yang diatur secara khusus (special
treatment) melalui peraturan pemerintah. Misalnya, PPh Final atas persewaan
tanah dan atau bangunan. Jadi, seandainya Wajib Pajak Badan menyewa gedung dari
pihak lain untuk dipergunakan sebagai kantor, maka Wajib Pajak Badan wajib
memotong, menyetor, dan melaporkan PPh Final yang terutang atas sewa kantor
tersebut.
e. PPh Pasal 25
Yaitu pembayaran angsuran PPh dalam tahun pajak
berjalan yang harus dibayar sendiri oleh WP untuk setiap bulan. Besarnya PPh
Pasal 25 yang wajib disetor setiap bulan dihitung berdasarkan ketentuan Pasal
25 UU PPh beserta ketentuan pelaksanaannya.
f. PPh Pasal 29
Yaitu kewajiban untuk melunasi kekurangan pembayaran
pajak yang terutang pada akhir tahun pajak, dengan memperhitungkan kredit pajak
berupa angsuran PPh Pasal 25 yang telah disetor setiap bulan dan PPh yang telah
dipotong/dipungut oleh pihak lain.
g. PPN
Yaitu pemungutan pajak atas penyerahan BKP (Barang
Kena Pajak) atau JKP (Jasa Kena Pajak) yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak
(PKP) di dalam Daerah Pabean, yang meliputi suatu masa pajak. Dalam hal BKP tergolong barang mewah, terdapat Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah (PPn BM) yang juga terutang sesuai ketentuan UU yang berlaku.
4. Kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT)
5. Kewajiban membayar dan menyetorkan pajak
6. Kewajiban membuat faktur pajak
7. Kewajiban melunasi bea materai
8. Kewajiban menaati pemeriksaan pajak
E. Hak Wajib Pajak Badan
dalam Perpajakan
Adapun hak dari wajib pajak dalam perpajakan, yaitu :
1. Hak untuk mendapat pembinaan dan pengarahan dari fiskus
2. Hak untuk membetulkan, memperpanjang waktu penyampaian SPT
3. Hak untuk mengajukan keberatan, banding dan gugatan serta peninjauan
kembali ke Mahkamah Agung
4. Hak untuk memperoleh kelebihan pembayaran pajak
5. Hak dalam hal wajib pajak dilakukan pemeriksaan
6. Hak untuk mendapat fasilitas perpajakan
7. Hak mengajukan permohonan untuk mengangsur pembayaran pajak, menunda
penagihan pajak, dan memperoleh imbalan bungan dari keterlambatan pembayaran
kelebihan pajak oleh DJP
8. Hak untuk melakukan pengkreditan pajak masukan terhadap pajak keluaran
9. Hak mengurangi penghasilan kena pajak dengan biaya yang dikeluarkan sesuai
biaya fiskal.
F. Saat Terutang, Penyetoran dan
Pelaporan PPh Badan
Saat terutang dari pajak penghasilan badan
adalah pada saat badan atau perusahaan tersebut sudah mendapat penghasilan atau
laba. Pajak Penghasilan (PPh) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaiman
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 tahun
2008, pph badan harus dibayar paling lama tanggal 15 (lima belas)
bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir (angsuran pajak).
Dalam hal tanggal
jatuh tempo pembayaran bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau
hari libur nasional, maka pembayaran dapat dilakukan pada hari kerja
berikutnya. Hari libur nasional temasuk hari yang diliburkan untuk
penyelengaraan Pemilihan Umum yang ditetapkan oleh pemerintah dan cuti bersama
secara nasional yang ditetapkan oleh pemerintah.
Pembayaran pajak
dilakukan melaui Bank Persepsi atau bank Devisi Persepsi atau Kantor Pos
Persepsi dengan sistem pembayaran secara online. Pembayaran pajak
harus digunakan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atau sarana
administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak.
Surat Setoran Pajak (SSP) atau sarana
administrasi lain berfungsi sebagai bukti pembayaran pajak apabila telah
disahkan oleh pejabat kantor penerima pembayaran yang berwenang atau apabila
telah mendapat validasi. SSP atau sarana administrasi lain dianggap sah apabila
telah divalidasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN).
Apabila pajak terutang untuk satu tahun
pajak lebih besar dari jumlah kredit pajak maka penyetoran kekurangan pajak
yang terutang (pph pasal 29) harus dilunasi selambat-lambatnya sebelum SPT
Tahunan disampaikan. Sedangkan, untuk pelaporan SPT, maksimal disampaikan pada
akhir bulan keempat setelah tahun pajak berakhir.
G. Cara Penghitungan Pajak
Penghasilan (PPh) Badan
Terjadi perbedaan pengakuan pendapatan dan biaya
antara pembukuan komersil dengan pembukuan menurut perpajakan. Berikut
perbedaan diantara keduanya.
Beda Tetap (Permanent Difference)
1. Menurut akuntasi komersial merupakan penghasilan, sedangkan menurut
ketentuan Pajak Penghasilan bukan penghasilan.
Misal: dividen yang diterima oleh Perseroan Terbatas
sebagai wajib pajak dalam negeri dari penyertaan modal sebesar
25% atau lebih pada badan usaha yang didirikan dan
berkedudukan di
Indonesia.
2. Menurut akuntansi komersial merupakan penghasilan sedangakan menurut
ketentuan PPh telah dikenakan PPh yang bersifat final. Penghasilan ini
dikenakan pajak tersendiri (final) sehingga dipisahkan (tidak perlu digabung)
dengan penghasilan lainnya dalam menghitung PPh terutang.
Misal: penghasilan atas bunga deposito atau tabungan
lainnya yang telah dipotong PPh Final oleh Bank sebesar 20%.
3. Menurut akuntansi komersial merupakan beban (biaya) sedangkan menurut
ketentuan PPh tidak dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan bruto (Pasal
9 UU PPh).
Misalnya :
a. Biaya-biaya yang digunakan untuk
memperoleh penghasilan yang bukan obyek pajak atau pengenaan
pajaknya bersifat final.
b. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diberikan dalam bentuk natura atau kenikmatan.
c. Sanksi perpajakan berupa bunga, denda, dan kenaikan.
d. Biaya-biaya yang menurut ketentuan PPh tidak dapat dibebankan karena tidak
memenuhi syarat-syarat tertentu (misalnya: daftar nominatif biaya
entertainment, daftar nominatif atas penghapusan piutang).
Beda Sementara (Temporary Difference)
Beda waktu merupakan perbedaan metode yang digunakan
antara akuntansi komersial dengan ketentuan fiskal.
Misalnya yaitu :
a. Metode penyusutan,
b. Metode penilaian persediaan,
c. Penyisihan piutang tak tertagih,
d. Rugi-laba selisih kurs.
Pengertian Rekonsiliasi Fiskal
Karena terjadi perbedaan pengakuan dalam menyusun
laporan keuangan antara komersil dengan perpajakan maka perlu dilakukan
penyesuaian atau rekonsiliasi fiskal. Rekonsiliasi fiskal adalah suatu
mekanisme penyesuaian pelaporan keuangan wajib pajak badan menurut ketentuan
komersial diubah menjadi menurut ketentuan perpajakan atau fiskal. Rekonsiliasi
fiskal adalah sebuah lampiran SPT tahunan PPh Badan berupa kertas kerja yang
berisi penyesuaian antara laba/rugi sebelum pajak menurut komersial dengan
laba/rugi menurut SPT Tahunan (perpajakan).
Untuk melakukan penghitungan PPh Badan, harus
diketahui laba fiskal dalam tahun pajak yang didapat dari rekonsiliasi fiskal.
Rekonsiliasi fiskal dilakukan terhadap seluruh unsur penyusunan laporan laba
rugi, meliputi pendapatan dan biaya, secara ringkas rekonsiliasi fiskal
dilakukan terhadap :
1. Wajib pajak yang memiliki penghasilan final
2. Wajib pajak yang memiliki penghasilan yang bukan objek pajak
3. Wajib pajak mengeluarkan biaya-biaya yang tidak boleh menjadi pengurang
penghasilan (pasal 9 UU PPh)
4. Wajib pajak mengeluarkan biaya yang boleh menjadi pengurang (biaya fiskal)
tetapi metode pengakuan biaya tersebut diatur oleh ketentuan fiskal
5. Wajib pajak mengeluarkan biaya yang dikeluarkan bersama untuk mendapatkan
pendapatan yang telah dikenakan PPh final
Dalam rekonsiliasi fiskal terdapat koreksi fiskal.
Dimana koreksi fiskal ini terdiri dari koreksi positif dan koreksi negatif.
Koreksi positif adalah koreksi yang mengakibatkan laba fiskal bertambah atau
rugi fiskal berkurang. Koreksi negatif adalah koreksi yang mengakibatkan laba
fiskal berkurang atau rugi fiskal bertambah.
Berikut langkah-langkah penghitungan PPh
Badan :
Jumlah penghasilan neto
bruto xxxx
Biaya xxxx
–
Penghasilan neto
komersial xxxx
Koreksi fiskal:
Positif xxxx
Negatif (xxxx)
+-
Penghasilan neto
fiskal xxxx
Kompensasi
kerugian xxxx
–
Penghasilan kena
pajak xxxx
PPh
terutang xxxx
Kredit pajak:
Dipotong/dipungut pihak
ketiga xxxx
Telah dibayar
sendiri xxxx
+
Jumlah kredit
pajak xxxx
–
Kurang/lebih
bayar xxxx
Perhitungan PPh Terutang
a. Tarif tertinggi 25% (dua puluh lima persen) mulai berlaku sejak tahun pajak 2010.
b. Wajib Pajak Badan dalan negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang paling
sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor
diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu
lainnya dapat memperoleh tarif sebesar 5% (lima persen) lebih rendah yang
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
c. Untuk keperluan penerapan tarif pajak, jumlah Penghasilan Kena Pajak
dibulatkan kebawah dalam ribuan rupiah penuh.
d. Wajib Pajak Badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp
50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa
pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif PPh Pasal 17 yang
dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan
Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah)
Fasilitas perpajakan diberikan untuk memberikan
kemudahan bagi sektor-sektor usaha tertentu dengan pertimbangan tertentu,
misalnya daya saing, penyerapan lapangan kerja dan perlindungan kepentingan
umum. Adapun berbagai fasilitas dan insentif perpajakan bagi wajib pajak badan,
sebagai berikut :
1. Fasilitas perpajakan yang berkaitan dengan tarif pajak
a. Fasilitas tarif pasal 17 ayat (2B) UU PPh
Dimana fasilitas ini diberikan kepada WP Badan dalam
negeri yang berbentuk perseroan terbuka dan paling sedikit 40% dari jumlah
keseluruhan saham yang disetor, diperdagangkan dibursa efek Indonesia.
Fasilitas bagi perseroan yang memenuhi persyaratan dapat memperoleh tarif 5%
lebih rendah dari tarif yang berlaku.
b. Fasilitas tarif pasal 31E ayat (1) UU PPh
Fasilitas ini diberikan kepada Wajib Pajak Badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp
50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas
berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif PPh Pasal
17 yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto
sampai dengan Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah)
2. Fasilitas perpajakan yang berkaitan dengan non tarif atau insentif
Fasilitas ini dapat berupa pajak dibebaskan, tidak
dipungut, atau ditanggung pemerintah.
a. Fasilitas PPh untuk penanaman modal dibidang usaha tertentu dan atau
didaerah-daerah tertentu.
Pihak yang berhak mendapat fasilitas ini adalah wajib
pajak badan dalam negeri berbentuk perseroan terbatas dan koperasi, baik yang
baru berdiri maupun yang telah ada, serta melakukan penanaman modal baru maupun
perluasan dari usaha yang telah ada pada bidang usaha tertentu dan daerah
tertentu. Fasilitas yang diberikan yaitu :
1) Pengurangan penghasilan neto paling tinggi 30% dari jumlah penanaman yang
dilakukan,
2) Penyusutan dan maortisasi yang dipercepat,
3) Kompensasi kerugian yang lebih lama tetapi tidak lebih dari 10 tahun,
4) Pengenaan PPh atas deviden yang dibayarkan kepada subjek pajak luar negeri
sebesar 10% atau tarif lebih rendah menurut persetujuan penghindaran pajak
berganda yang berlaku.
b. Fasilitas untuk PPN atau PPnBM
Dalam bidang PPN terdapat dua fasilitas yaitu pajak
terutang tidak dipungut dan pembebasan dari pengenaan pajak yang dapat berlaku
sementara atau selamanya. Jadi pihak-pihak yang memiliki usaha dan membantu
kehidupan bangsa akan mendapat fasilitas perpajakan. Misalnya kegiatan yang
sifatnya untuk menyendiakan alat-alat TNI, POLRI, dll. Dan kegiatan yang
meningkatkan kecerdasan bangsa seperti buku-buku pelajaran, dll.
3. Fasilitas yang membutuhkan surat keterangan bebas (SKB)
SKB dapat diajukan oleh WP kepada kantor pajak yang
terkait dengan kewajiban PPh pasal 21, PPh pasal 22 misal atas impor emas
batangan untuk ekspor emas batangan, PPh pasal 23 atas pemotongan PPh bunga
deposito dan tabungan serta diskonto SBI, SKB terkait PPN.
4. Fasilitas perpajakan terkait kondisi-kondisi tertentu
a. Pengembalian pendahuluan kelebihan pajak
Fasilitas ini berkaitan dengan pengembalian kelebihan
pajak yang mana wajib pajak yang memenuhi kriteria tertentu didahulukan
daripada wajib pajak lainnya. Melalui penelitian tanpa pemeriksaan dengan
jangka waktu tiga bulan untuk PPh dan satu bulan untuk PPN.
b. Pengurangan PPh pasal 25 karena keadaan perubahan usaha
c. Fasilitas perpajakan karena pengecualian terkait kondisi tertentu
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan dan Saran
Wajib pajak badan dan pajak penghasilan badan
merupakan bagian yang sangat kompleks dalam perpajakan. Baik dari segi
macam-macam usaha yang termasuk badan dalam pengertian pajak maupun cara
penghitungan pajak penghasilan itu sendiri. Begitu juga dengan hak dan
kewajiban dari wajib pajak badan. Kewajiban menyelenggarakan pembukuan bagi
wajib pajak badan tanpa memandang omzet karena wajib pajak badan dirasa telah
terbentuk dalam suatu organisasi yang terarah sehingga mampu menyelenggarakan
pembukuan perpajakan.
Dan perbedaan yang terjadi pada laporan keuangan
komersil dengan laporan keuangan pajak membuat wajib pajak harus melakukan
penyesuaian agar didapat laba fiskal dengan cara merekonsiliasinya.
Wajib pajak badan juga memiliki berbagai fasilitas
yang diberikan dengan ketentuan dan krietria tertentu agar memudahkan wajib
pajak dalam menjalankan kewajiban perpajakannya. Sehingga penerimaan negara
disektor pajak menjadi maksimal
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pajak secara bebas dapat dikatakan sebagai suatu
kewajiban warga negara berupa pengabdian serta peran aktif warga negara dan
anggota masyarakat untuk membiayai berbagai keperluan negara dalam Pembangunan
Nasional, tanpa adanya imbalan secara langsung yang pelaksanaannya diatur dalam
Undang-Undang Perpajakan untuk tujuan kesejahteraan bangsa dan negara. Dengan semakin berkembangnya kondisi usaha dan bisnis baik ditingkat
nasional maupun internasional, maka penghasilan yang diterima wajib pajak badan
dalam negeri juga meningkat. Badan atau perusahaan merupakan subjek pajak
dalam negeri dimana wajib pajak badan ini merupakan penyumbang bagi
penerimaan negara dari sektor pajak yaitu pajak penghasilan badan.
Dalam hal menjalankan usaha, suatu badan atau
perusahaan harus membuat pembukuan untuk menunjang kegiatan usahanya. Sama
halnya dalam perpajakan, pembukuan juga wajib dibuat oleh wajib pajak yang
berbentuk badan untuk mempermudah menghitung pajaknya. Dalam makalah ini akan dibahas
mengenai wajib pajak badan, kewajiban dan hak wajib pajak badan dalam
perpajakan dan cara penghitungan pajak dari wajib pajak badan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Badan
Menurut UU No.28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan, pasal 1 angka 3, Badan adalah sekumpulan orang dan atau
modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak
melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer,
perseroan lainnya, BUMN atau BUMD dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma,
kongsi koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi
massa, organisasi sosial poltik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk
badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
B. Wajib Pajak Badan
Wajib Pajak Badan adalah Badan seperti yang dimaksud
pada UU KUP, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang
mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan atau memiliki kewajiban subjektif dan kewajiban
objektif serta telah mendaftarkan diri untuk memproleh Nomor Pokok Wajib Pajak
(NPWP).
C. Pajak Penghasilan Badan
Pada pasal 1 UU Pajak Penghasillan, Pajak Penghasilan adalah Pajak yang
dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau
diperolehnya dalam tahun pajak.
Pajak Penghasilan Badan (PPh Badan) adalah pajak yang dikenakan atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh Badan seperti yang dimaksud dalam
UU KUP.
Adapun subjek dari PPh Badan yaitu :
1. Wajib Pajak Badan dalam negeri, yaitu badan yang didirikan atau bertempat
kedudukan di Indonesia.
2. Wajib Pajak Badan luar negeri, yaitu badan yang tidak didirikan atau tidak
bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
melalui BUT di Indonesia, dan atau badan yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima penghasilan dari Indonesia tidak
dari menjalankan usaha melalui BUT di Indonesia.
Yang menjadi objek pajak PPh Badan
adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau
diperoleh wajib pajak badan baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar
Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib
pajak badan yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.
D. Kewajiban Wajib Pajak
Badan dalam Perpajakan
Berikut kewajiban dari Wajib Pajak Badan :
1. Kewajiban mendaftarkan diri
Dalam hal ini mendaftarkan diri untuk memiliki NPWP
(Nomor Pokok Wajib Pajak) dan apabila wajib pajak badan melakukan kegiatan
penyerahan barang kena pajak dan atau jasa kena pajak atau ekspor barang kena
pajak yang terutang PPN berdasarkan UU PPN 1984, maka wajib pajak badan
tersebut memiliki kewajiban untuk dikukuhkan menjadi pengusaha kena pajak
(PKP). Untuk wajib pajak badan atau pengusaha kecil yaitu selama satu tahun
buku melakukan penyerahan BKP dan atau JKP dengan jumlah peredaran bruto tidak
lebih dari Rp600.000.000,- (enam ratus juta rupiah) maka tidak diwajibkan untuk
dikukuhkan sebagai PKP, kecuali pengusaha kecil tersebut memilih untuk
dikukuhkan sebagai PKP. Jadi, apabila peredaran brutonya lebih dari 600 juta
maka wajib mengukuhkan diri menjadi PKP.
Pada pasal 2 ayat (4) UU KUP, “Dirjen Pajak
menerbitkan NPWP dan/atau mengukuhkan PKP secara jabatan apabila WP atau PKP
tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau
ayat (2).
2. Kewajiban untuk menyelenggarakan pembukuan.
Sebagaimana terdapat pada pasal 28 ayat (1) UU KUP,
yaitu WP orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan
WP badan di Indonesia, wajib menyelenggarakan pembukuan.
Pembukuan :
Menurut UU No.28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan,Pembukuan adalah proses pencatatan yang dilakukan secara
teratur untuk mendapatkan data & informasi keuangan yang meliputi keadaan
harta, kewajiban atau utang, modal, penghasilan dan biaya serta jumlah harga
perolehan dan penyerahan barang atau jasa yang terutang maupun yang tidak
terutang PPN, yang dikenakan PPN dengan tarif 0% (nol persen) dan yang
dikenakan PPnBM, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca
dan penghitungan rugi/laba pada saat tahun pajak berakhir.
Ketentuan mengenai Pembukuan :
Pembukuan tersebut harus diselenggarakan dengan:
a. memperhatikan iktikad baik dan mencerminkan keadaan
atau kegiatan usaha yang sebenarnya,
b. harus diselenggarakan di Indonesia, dengan menggunakan huruf latin, angka Arab, satuan mata uang rupiah, dan disusun
dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menkeu,
c. diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan
stelsel akrual dan stelsel kas,
d. perubahan terhadap metode pembukuan dan/atau tahun buku
harus mendapat persetujuan dari Dirjen Pajak.
Prinsip Taat Asas :
Prinsip taat asas adalah prinsip yang sama digunakan
dalam metode pembukuan dengan tahun-tahun sebelumnya untuk mencegah
penggeseran laba atau rugi. Misalnya dalam penerapan : Stelsel
pengakuan penghasilan; Tahun buku; Metode penilaian persediaan;
Metode penyusutan dan amortisasi.
|
3. Kewajiban melakukan pemotongan dan pemungutan, diantaranya yaitu:
a. Kewajiban pajak sendiri (seperti PPh Pasal 25/29);
b. Kewajiban memotong atau memungut (pot/put) pajak atas
penghasilan orang lain (misalnya: PPh Pasal 21/26, PPh Pasal 22, PPh Pasal
23/26, dan PPh Final); dan
c. Kewajiban memungut PPN dan atau PPn BM (jika ada) yang khusus berlaku bagi
Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Jenis-jenis pajak yang menjadi kewajiban Wajib Pajak
Badan secara umum bisa diuraikan sebagai berikut:
a. PPh Pasal 21/Pasal 26
Yaitu PPh yang wajib dipotong atas penghasilan
sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang diterima atau diperoleh
orang pribadi, sesuai dengan ketentuan Pasal 21 UU PPh.
Wajib Pajak Badan wajib melakukan pemotongan PPh Pasal
21 atas penghasilan para karyawan yang bekerja di perusahaan tersebut maupun
penghasilan orang pribadi lainnya, seperti tenaga ahli, yang dibayar atau
terutang oleh perusahaan. Dalam hal terdapat pembayaran penghasilan, yang
termasuk objek PPh Pasal 21, kepada orang pribadi yang berstatus WP luar
negeri, PPh yang dipotong mengacu pada ketentuan Pasal 26 UU PPh atau
berdasarkan tax treaty.
Kewajiban PPh Pasal 21/Pasal 26 yang harus
dilaksanakan, meliputi:
SPT Masa PPh Pasal 21/26 pada setiap Masa Pajak
Merupakan pelaporan atas PPh Pasal 21 yang telah
dihitung dan disetor oleh Wajib Pajak Badan, yang terutang pada setiap masa
pajak. PPh Pasal 26 yang terutang atas pembayaran kepada orang pribadi yang
berstatus Wajib Pajak Luar Negeri juga wajib dilaporkan pada SPT Masa PPh Pasal
21. Pada dasarnya, PPh Pasal 21 yang dilaporkan dalam SPT Masa merupakan
angsuran atau pajak dibayar di muka untuk PPh Pasal 21 yang terutang pada akhir
tahun pajak yang bersangkutan.
SPT Masa PPh Pasal 21 pada Akhir Tahun Pajak
Merupakan pelaporan atas PPh Pasal 21 yang telah
dihitung dan dilunasi pada suatu tahun pajak, termasuk PPh Pasal 26 yang
terutang atas penghasilan orang pribadi berstatus WP luar negeri. SPT Masa PPh
Pasal 21 untuk Akhir Tahun Pajak sebenarnya merupakan penghitungan ulang atas
PPh Pasal 21 yang telah dilaporkan dalam SPT Masa PPh Pasal 21 untuk Masa
Pajak Januari sampai dengan Desember. Bisa jadi, pada SPT Masa PPh Pasal 21
pada akhir tahun nantinya timbul kurang bayar, atau lebih bayar, atau mungkin
juga nihil (PPh Pasal 21 yang sudah disetor sama dengan PPh Pasal 21 yang
terutang).
b. PPh Pasal 23
Yaitu PPh yang dipotong atas penghasilan berupa
dividen, royalty, bunga, hadiah dan penghargaan selain yang telah dikenakan PPh
Pasal 21, sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, serta
imbalan jasa sehubungan dengan jasa-jasa seperti jasa teknik, jasa manajeman,
jasa konsultan, dan jasa lain, yang ditetapkan dalam ketentuan Pasal 23 UU PPh.
c. PPh Pasal 26
Yaitu PPh yang dipotong atas penghasilan berupa
dividen; bunga; royalti; sewa dan imbalan lain sehubungan dengan penggunaan
harta; imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan dan kegiatan, hadiah dan
penghargaan; serta pensiun dan pembayaran berkala lainnya yang
diterima/diperoleh WP luar negeri. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 26 UU PPh.
Penghitungan dan penyetoran PPh Pasal 26 sebaiknya
tetap dilakukan secara tersendiri, meskipun untuk pelaporannya digabungkan
dengan PPh Pasal 21 atau PPh Pasal 23, tergantung pada jenis objek pajaknya
serta penerima penghasilannya;
1) Jika objek pajaknya cenderung sama dengan PPh Pasal 21 dan penerima
penghasilannya adalah orang pribadi berstatus WP luar negeri, maka pelaporannya
melalui SPT Masa PPh Pasal 21 dan atau Pasal 26;
2) Jika penerima penghasilannya berbentuk badan dan berstatus WP luar
negeri, pelaporannya melalui SPT Masa PPh Pasal 23 dan atau Pasal 26.
d. PPh Final
Yaitu PPh yang dipotong atas jenis penghasilan
tertentu atau jenis usaha tertentu yang diatur secara khusus (special
treatment) melalui peraturan pemerintah. Misalnya, PPh Final atas persewaan
tanah dan atau bangunan. Jadi, seandainya Wajib Pajak Badan menyewa gedung dari
pihak lain untuk dipergunakan sebagai kantor, maka Wajib Pajak Badan wajib
memotong, menyetor, dan melaporkan PPh Final yang terutang atas sewa kantor
tersebut.
e. PPh Pasal 25
Yaitu pembayaran angsuran PPh dalam tahun pajak
berjalan yang harus dibayar sendiri oleh WP untuk setiap bulan. Besarnya PPh
Pasal 25 yang wajib disetor setiap bulan dihitung berdasarkan ketentuan Pasal
25 UU PPh beserta ketentuan pelaksanaannya.
f. PPh Pasal 29
Yaitu kewajiban untuk melunasi kekurangan pembayaran
pajak yang terutang pada akhir tahun pajak, dengan memperhitungkan kredit pajak
berupa angsuran PPh Pasal 25 yang telah disetor setiap bulan dan PPh yang telah
dipotong/dipungut oleh pihak lain.
g. PPN
Yaitu pemungutan pajak atas penyerahan BKP (Barang
Kena Pajak) atau JKP (Jasa Kena Pajak) yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak
(PKP) di dalam Daerah Pabean, yang meliputi suatu masa pajak. Dalam hal BKP tergolong barang mewah, terdapat Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah (PPn BM) yang juga terutang sesuai ketentuan UU yang berlaku.
4. Kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT)
5. Kewajiban membayar dan menyetorkan pajak
6. Kewajiban membuat faktur pajak
7. Kewajiban melunasi bea materai
8. Kewajiban menaati pemeriksaan pajak
E. Hak Wajib Pajak Badan
dalam Perpajakan
Adapun hak dari wajib pajak dalam perpajakan, yaitu :
1. Hak untuk mendapat pembinaan dan pengarahan dari fiskus
2. Hak untuk membetulkan, memperpanjang waktu penyampaian SPT
3. Hak untuk mengajukan keberatan, banding dan gugatan serta peninjauan
kembali ke Mahkamah Agung
4. Hak untuk memperoleh kelebihan pembayaran pajak
5. Hak dalam hal wajib pajak dilakukan pemeriksaan
6. Hak untuk mendapat fasilitas perpajakan
7. Hak mengajukan permohonan untuk mengangsur pembayaran pajak, menunda
penagihan pajak, dan memperoleh imbalan bungan dari keterlambatan pembayaran
kelebihan pajak oleh DJP
8. Hak untuk melakukan pengkreditan pajak masukan terhadap pajak keluaran
9. Hak mengurangi penghasilan kena pajak dengan biaya yang dikeluarkan sesuai
biaya fiskal.
F. Saat Terutang, Penyetoran dan
Pelaporan PPh Badan
Saat terutang dari pajak penghasilan badan
adalah pada saat badan atau perusahaan tersebut sudah mendapat penghasilan atau
laba. Pajak Penghasilan (PPh) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaiman
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 tahun
2008, pph badan harus dibayar paling lama tanggal 15 (lima belas)
bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir (angsuran pajak).
Dalam hal tanggal
jatuh tempo pembayaran bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau
hari libur nasional, maka pembayaran dapat dilakukan pada hari kerja
berikutnya. Hari libur nasional temasuk hari yang diliburkan untuk
penyelengaraan Pemilihan Umum yang ditetapkan oleh pemerintah dan cuti bersama
secara nasional yang ditetapkan oleh pemerintah.
Pembayaran pajak
dilakukan melaui Bank Persepsi atau bank Devisi Persepsi atau Kantor Pos
Persepsi dengan sistem pembayaran secara online. Pembayaran pajak
harus digunakan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atau sarana
administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak.
Surat Setoran Pajak (SSP) atau sarana
administrasi lain berfungsi sebagai bukti pembayaran pajak apabila telah
disahkan oleh pejabat kantor penerima pembayaran yang berwenang atau apabila
telah mendapat validasi. SSP atau sarana administrasi lain dianggap sah apabila
telah divalidasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN).
Apabila pajak terutang untuk satu tahun
pajak lebih besar dari jumlah kredit pajak maka penyetoran kekurangan pajak
yang terutang (pph pasal 29) harus dilunasi selambat-lambatnya sebelum SPT
Tahunan disampaikan. Sedangkan, untuk pelaporan SPT, maksimal disampaikan pada
akhir bulan keempat setelah tahun pajak berakhir.
G. Cara Penghitungan Pajak
Penghasilan (PPh) Badan
Terjadi perbedaan pengakuan pendapatan dan biaya
antara pembukuan komersil dengan pembukuan menurut perpajakan. Berikut
perbedaan diantara keduanya.
Beda Tetap (Permanent Difference)
1. Menurut akuntasi komersial merupakan penghasilan, sedangkan menurut
ketentuan Pajak Penghasilan bukan penghasilan.
Misal: dividen yang diterima oleh Perseroan Terbatas
sebagai wajib pajak dalam negeri dari penyertaan modal sebesar
25% atau lebih pada badan usaha yang didirikan dan
berkedudukan di
Indonesia.
2. Menurut akuntansi komersial merupakan penghasilan sedangakan menurut
ketentuan PPh telah dikenakan PPh yang bersifat final. Penghasilan ini
dikenakan pajak tersendiri (final) sehingga dipisahkan (tidak perlu digabung)
dengan penghasilan lainnya dalam menghitung PPh terutang.
Misal: penghasilan atas bunga deposito atau tabungan
lainnya yang telah dipotong PPh Final oleh Bank sebesar 20%.
3. Menurut akuntansi komersial merupakan beban (biaya) sedangkan menurut
ketentuan PPh tidak dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan bruto (Pasal
9 UU PPh).
Misalnya :
a. Biaya-biaya yang digunakan untuk
memperoleh penghasilan yang bukan obyek pajak atau pengenaan
pajaknya bersifat final.
b. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diberikan dalam bentuk natura atau kenikmatan.
c. Sanksi perpajakan berupa bunga, denda, dan kenaikan.
d. Biaya-biaya yang menurut ketentuan PPh tidak dapat dibebankan karena tidak
memenuhi syarat-syarat tertentu (misalnya: daftar nominatif biaya
entertainment, daftar nominatif atas penghapusan piutang).
Beda Sementara (Temporary Difference)
Beda waktu merupakan perbedaan metode yang digunakan
antara akuntansi komersial dengan ketentuan fiskal.
Misalnya yaitu :
a. Metode penyusutan,
b. Metode penilaian persediaan,
c. Penyisihan piutang tak tertagih,
d. Rugi-laba selisih kurs.
Pengertian Rekonsiliasi Fiskal
Karena terjadi perbedaan pengakuan dalam menyusun
laporan keuangan antara komersil dengan perpajakan maka perlu dilakukan
penyesuaian atau rekonsiliasi fiskal. Rekonsiliasi fiskal adalah suatu
mekanisme penyesuaian pelaporan keuangan wajib pajak badan menurut ketentuan
komersial diubah menjadi menurut ketentuan perpajakan atau fiskal. Rekonsiliasi
fiskal adalah sebuah lampiran SPT tahunan PPh Badan berupa kertas kerja yang
berisi penyesuaian antara laba/rugi sebelum pajak menurut komersial dengan
laba/rugi menurut SPT Tahunan (perpajakan).
Untuk melakukan penghitungan PPh Badan, harus
diketahui laba fiskal dalam tahun pajak yang didapat dari rekonsiliasi fiskal.
Rekonsiliasi fiskal dilakukan terhadap seluruh unsur penyusunan laporan laba
rugi, meliputi pendapatan dan biaya, secara ringkas rekonsiliasi fiskal
dilakukan terhadap :
1. Wajib pajak yang memiliki penghasilan final
2. Wajib pajak yang memiliki penghasilan yang bukan objek pajak
3. Wajib pajak mengeluarkan biaya-biaya yang tidak boleh menjadi pengurang
penghasilan (pasal 9 UU PPh)
4. Wajib pajak mengeluarkan biaya yang boleh menjadi pengurang (biaya fiskal)
tetapi metode pengakuan biaya tersebut diatur oleh ketentuan fiskal
5. Wajib pajak mengeluarkan biaya yang dikeluarkan bersama untuk mendapatkan
pendapatan yang telah dikenakan PPh final
Dalam rekonsiliasi fiskal terdapat koreksi fiskal.
Dimana koreksi fiskal ini terdiri dari koreksi positif dan koreksi negatif.
Koreksi positif adalah koreksi yang mengakibatkan laba fiskal bertambah atau
rugi fiskal berkurang. Koreksi negatif adalah koreksi yang mengakibatkan laba
fiskal berkurang atau rugi fiskal bertambah.
Berikut langkah-langkah penghitungan PPh
Badan :
Jumlah penghasilan neto
bruto xxxx
Biaya xxxx
–
Penghasilan neto
komersial xxxx
Koreksi fiskal:
Positif xxxx
Negatif (xxxx)
+-
Penghasilan neto
fiskal xxxx
Kompensasi
kerugian xxxx
–
Penghasilan kena
pajak xxxx
PPh
terutang xxxx
Kredit pajak:
Dipotong/dipungut pihak
ketiga xxxx
Telah dibayar
sendiri xxxx
+
Jumlah kredit
pajak xxxx
–
Kurang/lebih
bayar xxxx
Perhitungan PPh Terutang
a. Tarif tertinggi 25% (dua puluh lima persen) mulai berlaku sejak tahun pajak 2010.
b. Wajib Pajak Badan dalan negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang paling
sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor
diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu
lainnya dapat memperoleh tarif sebesar 5% (lima persen) lebih rendah yang
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
c. Untuk keperluan penerapan tarif pajak, jumlah Penghasilan Kena Pajak
dibulatkan kebawah dalam ribuan rupiah penuh.
d. Wajib Pajak Badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp
50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa
pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif PPh Pasal 17 yang
dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan
Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah)
Fasilitas perpajakan diberikan untuk memberikan
kemudahan bagi sektor-sektor usaha tertentu dengan pertimbangan tertentu,
misalnya daya saing, penyerapan lapangan kerja dan perlindungan kepentingan
umum. Adapun berbagai fasilitas dan insentif perpajakan bagi wajib pajak badan,
sebagai berikut :
1. Fasilitas perpajakan yang berkaitan dengan tarif pajak
a. Fasilitas tarif pasal 17 ayat (2B) UU PPh
Dimana fasilitas ini diberikan kepada WP Badan dalam
negeri yang berbentuk perseroan terbuka dan paling sedikit 40% dari jumlah
keseluruhan saham yang disetor, diperdagangkan dibursa efek Indonesia.
Fasilitas bagi perseroan yang memenuhi persyaratan dapat memperoleh tarif 5%
lebih rendah dari tarif yang berlaku.
b. Fasilitas tarif pasal 31E ayat (1) UU PPh
Fasilitas ini diberikan kepada Wajib Pajak Badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp
50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas
berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif PPh Pasal
17 yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto
sampai dengan Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah)
2. Fasilitas perpajakan yang berkaitan dengan non tarif atau insentif
Fasilitas ini dapat berupa pajak dibebaskan, tidak
dipungut, atau ditanggung pemerintah.
a. Fasilitas PPh untuk penanaman modal dibidang usaha tertentu dan atau
didaerah-daerah tertentu.
Pihak yang berhak mendapat fasilitas ini adalah wajib
pajak badan dalam negeri berbentuk perseroan terbatas dan koperasi, baik yang
baru berdiri maupun yang telah ada, serta melakukan penanaman modal baru maupun
perluasan dari usaha yang telah ada pada bidang usaha tertentu dan daerah
tertentu. Fasilitas yang diberikan yaitu :
1) Pengurangan penghasilan neto paling tinggi 30% dari jumlah penanaman yang
dilakukan,
2) Penyusutan dan maortisasi yang dipercepat,
3) Kompensasi kerugian yang lebih lama tetapi tidak lebih dari 10 tahun,
4) Pengenaan PPh atas deviden yang dibayarkan kepada subjek pajak luar negeri
sebesar 10% atau tarif lebih rendah menurut persetujuan penghindaran pajak
berganda yang berlaku.
b. Fasilitas untuk PPN atau PPnBM
Dalam bidang PPN terdapat dua fasilitas yaitu pajak
terutang tidak dipungut dan pembebasan dari pengenaan pajak yang dapat berlaku
sementara atau selamanya. Jadi pihak-pihak yang memiliki usaha dan membantu
kehidupan bangsa akan mendapat fasilitas perpajakan. Misalnya kegiatan yang
sifatnya untuk menyendiakan alat-alat TNI, POLRI, dll. Dan kegiatan yang
meningkatkan kecerdasan bangsa seperti buku-buku pelajaran, dll.
3. Fasilitas yang membutuhkan surat keterangan bebas (SKB)
SKB dapat diajukan oleh WP kepada kantor pajak yang
terkait dengan kewajiban PPh pasal 21, PPh pasal 22 misal atas impor emas
batangan untuk ekspor emas batangan, PPh pasal 23 atas pemotongan PPh bunga
deposito dan tabungan serta diskonto SBI, SKB terkait PPN.
4. Fasilitas perpajakan terkait kondisi-kondisi tertentu
a. Pengembalian pendahuluan kelebihan pajak
Fasilitas ini berkaitan dengan pengembalian kelebihan
pajak yang mana wajib pajak yang memenuhi kriteria tertentu didahulukan
daripada wajib pajak lainnya. Melalui penelitian tanpa pemeriksaan dengan
jangka waktu tiga bulan untuk PPh dan satu bulan untuk PPN.
b. Pengurangan PPh pasal 25 karena keadaan perubahan usaha
c. Fasilitas perpajakan karena pengecualian terkait kondisi tertentu
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan dan Saran
Wajib pajak badan dan pajak penghasilan badan
merupakan bagian yang sangat kompleks dalam perpajakan. Baik dari segi
macam-macam usaha yang termasuk badan dalam pengertian pajak maupun cara
penghitungan pajak penghasilan itu sendiri. Begitu juga dengan hak dan
kewajiban dari wajib pajak badan. Kewajiban menyelenggarakan pembukuan bagi
wajib pajak badan tanpa memandang omzet karena wajib pajak badan dirasa telah
terbentuk dalam suatu organisasi yang terarah sehingga mampu menyelenggarakan
pembukuan perpajakan.
Dan perbedaan yang terjadi pada laporan keuangan
komersil dengan laporan keuangan pajak membuat wajib pajak harus melakukan
penyesuaian agar didapat laba fiskal dengan cara merekonsiliasinya.
Wajib pajak badan juga memiliki berbagai fasilitas
yang diberikan dengan ketentuan dan krietria tertentu agar memudahkan wajib
pajak dalam menjalankan kewajiban perpajakannya. Sehingga penerimaan negara
disektor pajak menjadi maksimal
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pajak secara bebas dapat dikatakan sebagai suatu
kewajiban warga negara berupa pengabdian serta peran aktif warga negara dan
anggota masyarakat untuk membiayai berbagai keperluan negara dalam Pembangunan
Nasional, tanpa adanya imbalan secara langsung yang pelaksanaannya diatur dalam
Undang-Undang Perpajakan untuk tujuan kesejahteraan bangsa dan negara. Dengan semakin berkembangnya kondisi usaha dan bisnis baik ditingkat
nasional maupun internasional, maka penghasilan yang diterima wajib pajak badan
dalam negeri juga meningkat. Badan atau perusahaan merupakan subjek pajak
dalam negeri dimana wajib pajak badan ini merupakan penyumbang bagi
penerimaan negara dari sektor pajak yaitu pajak penghasilan badan.
Dalam hal menjalankan usaha, suatu badan atau
perusahaan harus membuat pembukuan untuk menunjang kegiatan usahanya. Sama
halnya dalam perpajakan, pembukuan juga wajib dibuat oleh wajib pajak yang
berbentuk badan untuk mempermudah menghitung pajaknya. Dalam makalah ini akan dibahas
mengenai wajib pajak badan, kewajiban dan hak wajib pajak badan dalam
perpajakan dan cara penghitungan pajak dari wajib pajak badan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Badan
Menurut UU No.28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan, pasal 1 angka 3, Badan adalah sekumpulan orang dan atau
modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak
melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer,
perseroan lainnya, BUMN atau BUMD dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma,
kongsi koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi
massa, organisasi sosial poltik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk
badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
B. Wajib Pajak Badan
Wajib Pajak Badan adalah Badan seperti yang dimaksud
pada UU KUP, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang
mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan atau memiliki kewajiban subjektif dan kewajiban
objektif serta telah mendaftarkan diri untuk memproleh Nomor Pokok Wajib Pajak
(NPWP).
C. Pajak Penghasilan Badan
Pada pasal 1 UU Pajak Penghasillan, Pajak Penghasilan adalah Pajak yang
dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau
diperolehnya dalam tahun pajak.
Pajak Penghasilan Badan (PPh Badan) adalah pajak yang dikenakan atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh Badan seperti yang dimaksud dalam
UU KUP.
Adapun subjek dari PPh Badan yaitu :
1. Wajib Pajak Badan dalam negeri, yaitu badan yang didirikan atau bertempat
kedudukan di Indonesia.
2. Wajib Pajak Badan luar negeri, yaitu badan yang tidak didirikan atau tidak
bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
melalui BUT di Indonesia, dan atau badan yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima penghasilan dari Indonesia tidak
dari menjalankan usaha melalui BUT di Indonesia.
Yang menjadi objek pajak PPh Badan
adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau
diperoleh wajib pajak badan baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar
Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib
pajak badan yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.
D. Kewajiban Wajib Pajak
Badan dalam Perpajakan
Berikut kewajiban dari Wajib Pajak Badan :
1. Kewajiban mendaftarkan diri
Dalam hal ini mendaftarkan diri untuk memiliki NPWP
(Nomor Pokok Wajib Pajak) dan apabila wajib pajak badan melakukan kegiatan
penyerahan barang kena pajak dan atau jasa kena pajak atau ekspor barang kena
pajak yang terutang PPN berdasarkan UU PPN 1984, maka wajib pajak badan
tersebut memiliki kewajiban untuk dikukuhkan menjadi pengusaha kena pajak
(PKP). Untuk wajib pajak badan atau pengusaha kecil yaitu selama satu tahun
buku melakukan penyerahan BKP dan atau JKP dengan jumlah peredaran bruto tidak
lebih dari Rp600.000.000,- (enam ratus juta rupiah) maka tidak diwajibkan untuk
dikukuhkan sebagai PKP, kecuali pengusaha kecil tersebut memilih untuk
dikukuhkan sebagai PKP. Jadi, apabila peredaran brutonya lebih dari 600 juta
maka wajib mengukuhkan diri menjadi PKP.
Pada pasal 2 ayat (4) UU KUP, “Dirjen Pajak
menerbitkan NPWP dan/atau mengukuhkan PKP secara jabatan apabila WP atau PKP
tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau
ayat (2).
2. Kewajiban untuk menyelenggarakan pembukuan.
Sebagaimana terdapat pada pasal 28 ayat (1) UU KUP,
yaitu WP orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan
WP badan di Indonesia, wajib menyelenggarakan pembukuan.
Pembukuan :
Menurut UU No.28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan,Pembukuan adalah proses pencatatan yang dilakukan secara
teratur untuk mendapatkan data & informasi keuangan yang meliputi keadaan
harta, kewajiban atau utang, modal, penghasilan dan biaya serta jumlah harga
perolehan dan penyerahan barang atau jasa yang terutang maupun yang tidak
terutang PPN, yang dikenakan PPN dengan tarif 0% (nol persen) dan yang
dikenakan PPnBM, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca
dan penghitungan rugi/laba pada saat tahun pajak berakhir.
Ketentuan mengenai Pembukuan :
Pembukuan tersebut harus diselenggarakan dengan:
a. memperhatikan iktikad baik dan mencerminkan keadaan
atau kegiatan usaha yang sebenarnya,
b. harus diselenggarakan di Indonesia, dengan menggunakan huruf latin, angka Arab, satuan mata uang rupiah, dan disusun
dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menkeu,
c. diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan
stelsel akrual dan stelsel kas,
d. perubahan terhadap metode pembukuan dan/atau tahun buku
harus mendapat persetujuan dari Dirjen Pajak.
Prinsip Taat Asas :
Prinsip taat asas adalah prinsip yang sama digunakan
dalam metode pembukuan dengan tahun-tahun sebelumnya untuk mencegah
penggeseran laba atau rugi. Misalnya dalam penerapan : Stelsel
pengakuan penghasilan; Tahun buku; Metode penilaian persediaan;
Metode penyusutan dan amortisasi.
|
3. Kewajiban melakukan pemotongan dan pemungutan, diantaranya yaitu:
a. Kewajiban pajak sendiri (seperti PPh Pasal 25/29);
b. Kewajiban memotong atau memungut (pot/put) pajak atas
penghasilan orang lain (misalnya: PPh Pasal 21/26, PPh Pasal 22, PPh Pasal
23/26, dan PPh Final); dan
c. Kewajiban memungut PPN dan atau PPn BM (jika ada) yang khusus berlaku bagi
Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Jenis-jenis pajak yang menjadi kewajiban Wajib Pajak
Badan secara umum bisa diuraikan sebagai berikut:
a. PPh Pasal 21/Pasal 26
Yaitu PPh yang wajib dipotong atas penghasilan
sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang diterima atau diperoleh
orang pribadi, sesuai dengan ketentuan Pasal 21 UU PPh.
Wajib Pajak Badan wajib melakukan pemotongan PPh Pasal
21 atas penghasilan para karyawan yang bekerja di perusahaan tersebut maupun
penghasilan orang pribadi lainnya, seperti tenaga ahli, yang dibayar atau
terutang oleh perusahaan. Dalam hal terdapat pembayaran penghasilan, yang
termasuk objek PPh Pasal 21, kepada orang pribadi yang berstatus WP luar
negeri, PPh yang dipotong mengacu pada ketentuan Pasal 26 UU PPh atau
berdasarkan tax treaty.
Kewajiban PPh Pasal 21/Pasal 26 yang harus
dilaksanakan, meliputi:
SPT Masa PPh Pasal 21/26 pada setiap Masa Pajak
Merupakan pelaporan atas PPh Pasal 21 yang telah
dihitung dan disetor oleh Wajib Pajak Badan, yang terutang pada setiap masa
pajak. PPh Pasal 26 yang terutang atas pembayaran kepada orang pribadi yang
berstatus Wajib Pajak Luar Negeri juga wajib dilaporkan pada SPT Masa PPh Pasal
21. Pada dasarnya, PPh Pasal 21 yang dilaporkan dalam SPT Masa merupakan
angsuran atau pajak dibayar di muka untuk PPh Pasal 21 yang terutang pada akhir
tahun pajak yang bersangkutan.
SPT Masa PPh Pasal 21 pada Akhir Tahun Pajak
Merupakan pelaporan atas PPh Pasal 21 yang telah
dihitung dan dilunasi pada suatu tahun pajak, termasuk PPh Pasal 26 yang
terutang atas penghasilan orang pribadi berstatus WP luar negeri. SPT Masa PPh
Pasal 21 untuk Akhir Tahun Pajak sebenarnya merupakan penghitungan ulang atas
PPh Pasal 21 yang telah dilaporkan dalam SPT Masa PPh Pasal 21 untuk Masa
Pajak Januari sampai dengan Desember. Bisa jadi, pada SPT Masa PPh Pasal 21
pada akhir tahun nantinya timbul kurang bayar, atau lebih bayar, atau mungkin
juga nihil (PPh Pasal 21 yang sudah disetor sama dengan PPh Pasal 21 yang
terutang).
b. PPh Pasal 23
Yaitu PPh yang dipotong atas penghasilan berupa
dividen, royalty, bunga, hadiah dan penghargaan selain yang telah dikenakan PPh
Pasal 21, sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, serta
imbalan jasa sehubungan dengan jasa-jasa seperti jasa teknik, jasa manajeman,
jasa konsultan, dan jasa lain, yang ditetapkan dalam ketentuan Pasal 23 UU PPh.
c. PPh Pasal 26
Yaitu PPh yang dipotong atas penghasilan berupa
dividen; bunga; royalti; sewa dan imbalan lain sehubungan dengan penggunaan
harta; imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan dan kegiatan, hadiah dan
penghargaan; serta pensiun dan pembayaran berkala lainnya yang
diterima/diperoleh WP luar negeri. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 26 UU PPh.
Penghitungan dan penyetoran PPh Pasal 26 sebaiknya
tetap dilakukan secara tersendiri, meskipun untuk pelaporannya digabungkan
dengan PPh Pasal 21 atau PPh Pasal 23, tergantung pada jenis objek pajaknya
serta penerima penghasilannya;
1) Jika objek pajaknya cenderung sama dengan PPh Pasal 21 dan penerima
penghasilannya adalah orang pribadi berstatus WP luar negeri, maka pelaporannya
melalui SPT Masa PPh Pasal 21 dan atau Pasal 26;
2) Jika penerima penghasilannya berbentuk badan dan berstatus WP luar
negeri, pelaporannya melalui SPT Masa PPh Pasal 23 dan atau Pasal 26.
d. PPh Final
Yaitu PPh yang dipotong atas jenis penghasilan
tertentu atau jenis usaha tertentu yang diatur secara khusus (special
treatment) melalui peraturan pemerintah. Misalnya, PPh Final atas persewaan
tanah dan atau bangunan. Jadi, seandainya Wajib Pajak Badan menyewa gedung dari
pihak lain untuk dipergunakan sebagai kantor, maka Wajib Pajak Badan wajib
memotong, menyetor, dan melaporkan PPh Final yang terutang atas sewa kantor
tersebut.
e. PPh Pasal 25
Yaitu pembayaran angsuran PPh dalam tahun pajak
berjalan yang harus dibayar sendiri oleh WP untuk setiap bulan. Besarnya PPh
Pasal 25 yang wajib disetor setiap bulan dihitung berdasarkan ketentuan Pasal
25 UU PPh beserta ketentuan pelaksanaannya.
f. PPh Pasal 29
Yaitu kewajiban untuk melunasi kekurangan pembayaran
pajak yang terutang pada akhir tahun pajak, dengan memperhitungkan kredit pajak
berupa angsuran PPh Pasal 25 yang telah disetor setiap bulan dan PPh yang telah
dipotong/dipungut oleh pihak lain.
g. PPN
Yaitu pemungutan pajak atas penyerahan BKP (Barang
Kena Pajak) atau JKP (Jasa Kena Pajak) yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak
(PKP) di dalam Daerah Pabean, yang meliputi suatu masa pajak. Dalam hal BKP tergolong barang mewah, terdapat Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah (PPn BM) yang juga terutang sesuai ketentuan UU yang berlaku.
4. Kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT)
5. Kewajiban membayar dan menyetorkan pajak
6. Kewajiban membuat faktur pajak
7. Kewajiban melunasi bea materai
8. Kewajiban menaati pemeriksaan pajak
E. Hak Wajib Pajak Badan
dalam Perpajakan
Adapun hak dari wajib pajak dalam perpajakan, yaitu :
1. Hak untuk mendapat pembinaan dan pengarahan dari fiskus
2. Hak untuk membetulkan, memperpanjang waktu penyampaian SPT
3. Hak untuk mengajukan keberatan, banding dan gugatan serta peninjauan
kembali ke Mahkamah Agung
4. Hak untuk memperoleh kelebihan pembayaran pajak
5. Hak dalam hal wajib pajak dilakukan pemeriksaan
6. Hak untuk mendapat fasilitas perpajakan
7. Hak mengajukan permohonan untuk mengangsur pembayaran pajak, menunda
penagihan pajak, dan memperoleh imbalan bungan dari keterlambatan pembayaran
kelebihan pajak oleh DJP
8. Hak untuk melakukan pengkreditan pajak masukan terhadap pajak keluaran
9. Hak mengurangi penghasilan kena pajak dengan biaya yang dikeluarkan sesuai
biaya fiskal.
F. Saat Terutang, Penyetoran dan
Pelaporan PPh Badan
Saat terutang dari pajak penghasilan badan
adalah pada saat badan atau perusahaan tersebut sudah mendapat penghasilan atau
laba. Pajak Penghasilan (PPh) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaiman
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 tahun
2008, pph badan harus dibayar paling lama tanggal 15 (lima belas)
bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir (angsuran pajak).
Dalam hal tanggal
jatuh tempo pembayaran bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau
hari libur nasional, maka pembayaran dapat dilakukan pada hari kerja
berikutnya. Hari libur nasional temasuk hari yang diliburkan untuk
penyelengaraan Pemilihan Umum yang ditetapkan oleh pemerintah dan cuti bersama
secara nasional yang ditetapkan oleh pemerintah.
Pembayaran pajak
dilakukan melaui Bank Persepsi atau bank Devisi Persepsi atau Kantor Pos
Persepsi dengan sistem pembayaran secara online. Pembayaran pajak
harus digunakan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atau sarana
administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak.
Surat Setoran Pajak (SSP) atau sarana
administrasi lain berfungsi sebagai bukti pembayaran pajak apabila telah
disahkan oleh pejabat kantor penerima pembayaran yang berwenang atau apabila
telah mendapat validasi. SSP atau sarana administrasi lain dianggap sah apabila
telah divalidasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN).
Apabila pajak terutang untuk satu tahun
pajak lebih besar dari jumlah kredit pajak maka penyetoran kekurangan pajak
yang terutang (pph pasal 29) harus dilunasi selambat-lambatnya sebelum SPT
Tahunan disampaikan. Sedangkan, untuk pelaporan SPT, maksimal disampaikan pada
akhir bulan keempat setelah tahun pajak berakhir.
G. Cara Penghitungan Pajak
Penghasilan (PPh) Badan
Terjadi perbedaan pengakuan pendapatan dan biaya
antara pembukuan komersil dengan pembukuan menurut perpajakan. Berikut
perbedaan diantara keduanya.
Beda Tetap (Permanent Difference)
1. Menurut akuntasi komersial merupakan penghasilan, sedangkan menurut
ketentuan Pajak Penghasilan bukan penghasilan.
Misal: dividen yang diterima oleh Perseroan Terbatas
sebagai wajib pajak dalam negeri dari penyertaan modal sebesar
25% atau lebih pada badan usaha yang didirikan dan
berkedudukan di
Indonesia.
2. Menurut akuntansi komersial merupakan penghasilan sedangakan menurut
ketentuan PPh telah dikenakan PPh yang bersifat final. Penghasilan ini
dikenakan pajak tersendiri (final) sehingga dipisahkan (tidak perlu digabung)
dengan penghasilan lainnya dalam menghitung PPh terutang.
Misal: penghasilan atas bunga deposito atau tabungan
lainnya yang telah dipotong PPh Final oleh Bank sebesar 20%.
3. Menurut akuntansi komersial merupakan beban (biaya) sedangkan menurut
ketentuan PPh tidak dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan bruto (Pasal
9 UU PPh).
Misalnya :
a. Biaya-biaya yang digunakan untuk
memperoleh penghasilan yang bukan obyek pajak atau pengenaan
pajaknya bersifat final.
b. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diberikan dalam bentuk natura atau kenikmatan.
c. Sanksi perpajakan berupa bunga, denda, dan kenaikan.
d. Biaya-biaya yang menurut ketentuan PPh tidak dapat dibebankan karena tidak
memenuhi syarat-syarat tertentu (misalnya: daftar nominatif biaya
entertainment, daftar nominatif atas penghapusan piutang).
Beda Sementara (Temporary Difference)
Beda waktu merupakan perbedaan metode yang digunakan
antara akuntansi komersial dengan ketentuan fiskal.
Misalnya yaitu :
a. Metode penyusutan,
b. Metode penilaian persediaan,
c. Penyisihan piutang tak tertagih,
d. Rugi-laba selisih kurs.
Pengertian Rekonsiliasi Fiskal
Karena terjadi perbedaan pengakuan dalam menyusun
laporan keuangan antara komersil dengan perpajakan maka perlu dilakukan
penyesuaian atau rekonsiliasi fiskal. Rekonsiliasi fiskal adalah suatu
mekanisme penyesuaian pelaporan keuangan wajib pajak badan menurut ketentuan
komersial diubah menjadi menurut ketentuan perpajakan atau fiskal. Rekonsiliasi
fiskal adalah sebuah lampiran SPT tahunan PPh Badan berupa kertas kerja yang
berisi penyesuaian antara laba/rugi sebelum pajak menurut komersial dengan
laba/rugi menurut SPT Tahunan (perpajakan).
Untuk melakukan penghitungan PPh Badan, harus
diketahui laba fiskal dalam tahun pajak yang didapat dari rekonsiliasi fiskal.
Rekonsiliasi fiskal dilakukan terhadap seluruh unsur penyusunan laporan laba
rugi, meliputi pendapatan dan biaya, secara ringkas rekonsiliasi fiskal
dilakukan terhadap :
1. Wajib pajak yang memiliki penghasilan final
2. Wajib pajak yang memiliki penghasilan yang bukan objek pajak
3. Wajib pajak mengeluarkan biaya-biaya yang tidak boleh menjadi pengurang
penghasilan (pasal 9 UU PPh)
4. Wajib pajak mengeluarkan biaya yang boleh menjadi pengurang (biaya fiskal)
tetapi metode pengakuan biaya tersebut diatur oleh ketentuan fiskal
5. Wajib pajak mengeluarkan biaya yang dikeluarkan bersama untuk mendapatkan
pendapatan yang telah dikenakan PPh final
Dalam rekonsiliasi fiskal terdapat koreksi fiskal.
Dimana koreksi fiskal ini terdiri dari koreksi positif dan koreksi negatif.
Koreksi positif adalah koreksi yang mengakibatkan laba fiskal bertambah atau
rugi fiskal berkurang. Koreksi negatif adalah koreksi yang mengakibatkan laba
fiskal berkurang atau rugi fiskal bertambah.
Berikut langkah-langkah penghitungan PPh
Badan :
Jumlah penghasilan neto
bruto xxxx
Biaya xxxx
–
Penghasilan neto
komersial xxxx
Koreksi fiskal:
Positif xxxx
Negatif (xxxx)
+-
Penghasilan neto
fiskal xxxx
Kompensasi
kerugian xxxx
–
Penghasilan kena
pajak xxxx
PPh
terutang xxxx
Kredit pajak:
Dipotong/dipungut pihak
ketiga xxxx
Telah dibayar
sendiri xxxx
+
Jumlah kredit
pajak xxxx
–
Kurang/lebih
bayar xxxx
Perhitungan PPh Terutang
a. Tarif tertinggi 25% (dua puluh lima persen) mulai berlaku sejak tahun pajak 2010.
b. Wajib Pajak Badan dalan negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang paling
sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor
diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu
lainnya dapat memperoleh tarif sebesar 5% (lima persen) lebih rendah yang
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
c. Untuk keperluan penerapan tarif pajak, jumlah Penghasilan Kena Pajak
dibulatkan kebawah dalam ribuan rupiah penuh.
d. Wajib Pajak Badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp
50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa
pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif PPh Pasal 17 yang
dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan
Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah)
Fasilitas perpajakan diberikan untuk memberikan
kemudahan bagi sektor-sektor usaha tertentu dengan pertimbangan tertentu,
misalnya daya saing, penyerapan lapangan kerja dan perlindungan kepentingan
umum. Adapun berbagai fasilitas dan insentif perpajakan bagi wajib pajak badan,
sebagai berikut :
1. Fasilitas perpajakan yang berkaitan dengan tarif pajak
a. Fasilitas tarif pasal 17 ayat (2B) UU PPh
Dimana fasilitas ini diberikan kepada WP Badan dalam
negeri yang berbentuk perseroan terbuka dan paling sedikit 40% dari jumlah
keseluruhan saham yang disetor, diperdagangkan dibursa efek Indonesia.
Fasilitas bagi perseroan yang memenuhi persyaratan dapat memperoleh tarif 5%
lebih rendah dari tarif yang berlaku.
b. Fasilitas tarif pasal 31E ayat (1) UU PPh
Fasilitas ini diberikan kepada Wajib Pajak Badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp
50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas
berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif PPh Pasal
17 yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto
sampai dengan Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah)
2. Fasilitas perpajakan yang berkaitan dengan non tarif atau insentif
Fasilitas ini dapat berupa pajak dibebaskan, tidak
dipungut, atau ditanggung pemerintah.
a. Fasilitas PPh untuk penanaman modal dibidang usaha tertentu dan atau
didaerah-daerah tertentu.
Pihak yang berhak mendapat fasilitas ini adalah wajib
pajak badan dalam negeri berbentuk perseroan terbatas dan koperasi, baik yang
baru berdiri maupun yang telah ada, serta melakukan penanaman modal baru maupun
perluasan dari usaha yang telah ada pada bidang usaha tertentu dan daerah
tertentu. Fasilitas yang diberikan yaitu :
1) Pengurangan penghasilan neto paling tinggi 30% dari jumlah penanaman yang
dilakukan,
2) Penyusutan dan maortisasi yang dipercepat,
3) Kompensasi kerugian yang lebih lama tetapi tidak lebih dari 10 tahun,
4) Pengenaan PPh atas deviden yang dibayarkan kepada subjek pajak luar negeri
sebesar 10% atau tarif lebih rendah menurut persetujuan penghindaran pajak
berganda yang berlaku.
b. Fasilitas untuk PPN atau PPnBM
Dalam bidang PPN terdapat dua fasilitas yaitu pajak
terutang tidak dipungut dan pembebasan dari pengenaan pajak yang dapat berlaku
sementara atau selamanya. Jadi pihak-pihak yang memiliki usaha dan membantu
kehidupan bangsa akan mendapat fasilitas perpajakan. Misalnya kegiatan yang
sifatnya untuk menyendiakan alat-alat TNI, POLRI, dll. Dan kegiatan yang
meningkatkan kecerdasan bangsa seperti buku-buku pelajaran, dll.
3. Fasilitas yang membutuhkan surat keterangan bebas (SKB)
SKB dapat diajukan oleh WP kepada kantor pajak yang
terkait dengan kewajiban PPh pasal 21, PPh pasal 22 misal atas impor emas
batangan untuk ekspor emas batangan, PPh pasal 23 atas pemotongan PPh bunga
deposito dan tabungan serta diskonto SBI, SKB terkait PPN.
4. Fasilitas perpajakan terkait kondisi-kondisi tertentu
a. Pengembalian pendahuluan kelebihan pajak
Fasilitas ini berkaitan dengan pengembalian kelebihan
pajak yang mana wajib pajak yang memenuhi kriteria tertentu didahulukan
daripada wajib pajak lainnya. Melalui penelitian tanpa pemeriksaan dengan
jangka waktu tiga bulan untuk PPh dan satu bulan untuk PPN.
b. Pengurangan PPh pasal 25 karena keadaan perubahan usaha
c. Fasilitas perpajakan karena pengecualian terkait kondisi tertentu
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan dan Saran
Wajib pajak badan dan pajak penghasilan badan
merupakan bagian yang sangat kompleks dalam perpajakan. Baik dari segi
macam-macam usaha yang termasuk badan dalam pengertian pajak maupun cara
penghitungan pajak penghasilan itu sendiri. Begitu juga dengan hak dan
kewajiban dari wajib pajak badan. Kewajiban menyelenggarakan pembukuan bagi
wajib pajak badan tanpa memandang omzet karena wajib pajak badan dirasa telah
terbentuk dalam suatu organisasi yang terarah sehingga mampu menyelenggarakan
pembukuan perpajakan.
Dan perbedaan yang terjadi pada laporan keuangan
komersil dengan laporan keuangan pajak membuat wajib pajak harus melakukan
penyesuaian agar didapat laba fiskal dengan cara merekonsiliasinya.
Wajib pajak badan juga memiliki berbagai fasilitas
yang diberikan dengan ketentuan dan krietria tertentu agar memudahkan wajib
pajak dalam menjalankan kewajiban perpajakannya. Sehingga penerimaan negara
disektor pajak menjadi maksimal